Empat tahun pertama menjadi penulis, saya hanya menulis cerpen dan berjuang mengirimkannya ke majalah-majalah. Alhamdulillah, beberapa dimuat dan tidak sedikit yang ditolak. Mula-mula ditolak, saya jadi berpikir, “cerpen yang bagaimana sih yang bagus? Kok ditolak melulu?” waktu itu, redakturnya memang memberitahukan alasan-alasan cerpen saya ditolak, diantaranya tema klise, alur monoton, ending klise, dan sebagainya.
Setelah duduk di bangku kuliah, saya memberanikan diri untuk mengirimkan kumpulan cerpen ke Penerbit Syamil, yang ketika itu sedang tenar-tenarnya di kalangan anak-anak Forum Lingkar Pena. Kumpulan cerpen saya, dengan sukses ditolak. Padahal, banyak kumcer yang diterbitkan oleh Syamil. Saya tidak menyerah. Saya kirimkan lagi naskah serial remaja. Hmm… ditolak lagi.
Selain Syamil, saya juga melirik DAR! Mizan. Subhanallah… penerbit yang satu itu lebih susah lagi. Tiga kali berturut-turut, naskah saya ditolak. Editornya agak kejam juga nolaknya, hehehehe…. Tapi, itu justru membuat saya semakin tertantang untuk dapat menerbitkan naskah di DAR! Mizan.
Saat Skripsi, saya berhasil menyelesaikan sebuah naskah novel, kala itu berjudul “Bias Kasih Dua Dara.” Naskah itu saya tawarkan kepada Afifah Afra, senior saya di FLP Semarang yang sudah bekerja di Penerbit Era Intermedia, Solo. Meskipun ada hubungan cukup dekat, berhubung dia ketua FLP Semarang yang pertama, dan saya Ketua FLP Semarang yang kedua, naskah saya ditolak dengan sukses. Katanya, tidak cocok untuk penerbit Era.
Alhamdulillah, tidak lama ada pengumuman lomba novel di Penerbit Gema Insani Pers. Saya ikutkan saja novel yang ditolak Afifah Afra itu ke sayembara bergengsi itu. Ternyata… naskah saya jadi pemenang kedua! Selanjutnya diterbitkan dengan judul, “Oke, Kita Bersaing!” Saya benar-benar tidak menyangka. Saya bahkan lupa tanggal pengumuman pemenang. Tiga hari sebelum nama pemenang diumumkan, saya ditelepon oleh Penerbit Gema Insani dan sudah dikabarkan lebih dulu bahwa saya menjadi pemenang kedua sayembara mengarang novel GIP. Pengumumannya bisa dilihat di Koran Republika. Alhamdulillah, saya langsung sujud syukur.
Novel “Oke, Kita Bersaing!” rupanya menjadi novel yang pertama kali diterbitkan di antara ketiga novel pemenang. Novel itu bak novel best seller saja. Di Gramedia, dipajang di rak paling depan. Penerbitnya mengatakan bahwa novelnya laris manis. Kabar terakhir, novel itu terjual lebih dari 10 ribu eksemplar dan sempat dinominasikan untuk meraih penghargaan novel best seller di IBF. Suatu kejadian mengharukan terjadi ketika saya ikut outbond bersama ibu-ibu pengajian dari seluruh Tangerang, tiga tahun setelah novel itu terbit. Usai menuliskan nama saya di daftar peserta outbond, seorang ibu menyapa saya.
“Ini benar kan Leyla Imtichanah yang menulis novel Oke Kita Bersaing?”
Saya tersenyum malu-malu. Wah, kok Ibu itu bisa tahu, ya?
“Anak saya senang sekali dengan novel Ibu. Bukunya disimpan terus. Tidak sangka sekarang saya ketemu penulisnya. Kalau anak saya ikut, dia pasti senang sekali,” ibu itu bercerita dengan gembira.
“Anak Ibu umur berapa?” tanya saya.
“Baru kelas 6 SD.”
GUBRAK! Masalahnya, novel Oke, Kita Bersaing itu adalah novel untuk anak SMA!
Nah, sejak OKB meraih penghargaan, herannya (cieeeh….) novel-novel saya berikutnya jadi gampang diterbitkan. Tidak tahu ada hubungannya atau tidak ya, tapi itulah kenyataannya. Pertama, saya mendapat telepon dari Editor Syamil, bahwa naskah saya, “True Love,” akan diterbitkan. Alhamdulillah… akhirnya, setelah dua kali kirim naskah ke Syamil, yang ketiga lolos juga.
Tidak lama, DAR! Mizan juga menelepon. Katanya, naskah saya, “Biarkan Stef Pergi,” akan diterbitkan. Editornya mengatakan, “nah, ini dia naskah yang sesuai untuk DAR. Tidak seperti naskah kamu yang dulu-dulu.” Biarpun, agak-agak menyindir, hati tetap senang. Namanya juga sedang berproses menjadi penulis, Om….
Sewaktu magang di Annida, saya dimintai naskah oleh Melvy Yendra yang baru saja pindah kerja dari Annida ke Beranda Hikmah. Empat bulan kemudian, terbitlah novel “Misteri Sanggar Cinta” di Penerbit Beranda. Sambil magang di Annida, saya juga menyempatkan menulis novel “Cinta Buat Chira” yang saya kirim ke Penerbit Lingkar Pena. Alhamdulillah, itu juga diterbitkan dengan mudah.
Terbayar sudah semua penantian saya selama menjadi penulis. Di antara semua keberhasilan itu, tetap saja ada yang gagal. Dua kali mengikuti lomba novel, keduanya gagal. Alhamdulillah, meski tak jadi pemenang, salah satu novel saya diterbitkan. Itulah “Endless Love.”
Menjadi penulis itu memang harus bermental baja. Terlebih, penulis biasanya sensitive dan gampang down (berdasarkan pengalaman sendiri dan riset kecil-kecilan terhadap teman-teman penulis). Satu yang perlu ditanamkan, bahwa otak editor yang satu tidak sama dengan otak editor yang lain. Kalau naskah ditolak oleh penerbit A, kirimkan saja ke penerbit B. Tapi, jangan berhenti untuk mengirimkan naskah ke penerbit A. Terus saja kirim. Caranya, pelajari buku-buku terbitan mereka. Naskah macam apa yang mereka inginkan. Insya Allah, suatu hari nanti, jalan untukmu pun akan terbuka.
Sekarang pun, meski saya telah menerbitkan buku sendiri, saya masih mencoba mengirimkan naskah ke penerbit. Ditolak??? MASIIIH….. Nyeri hati, tentu saja ada ketika menerima email penolakan naskah. Tapi, itu justru semakin mengasah hati saya untuk kuat menerima penolakan-penolakan. Berbeda rasanya menjadi penulis yang naskahnya sudah—pasti—diterbitkan, dengan penulis yang naskahnya harus berjuang untuk diterbitkan. Penolakan-penolakan membuat kita terus mencaritahu kelemahan naskah kita, dengan begitu kita akan berusaha untuk memperbaikinya.
So, naskah ditolak? Ya, kirim lagi..
Oleh : Leyla Imtichanah di http://www.facebook.com/notes/leyla-imtichanah/naskah-ditolak-penerbit-ya-kirim-lagi/484491292308
No comments:
Post a Comment