Sunday, February 27, 2011

Wajah Dunia Perbukuan Jepang Awal Abad ke-21

MEMASUKI akhir abad yang baru lalu, kelesuan melanda dunia perbukuan Jepang. Negeri yang tingkat konsumsi buku perkapitanya termasuk paling tinggi sedunia itu mengalami kemorosotan nilai penjualan buku dalam lima tahun berturut-turut sejak 1997. Pada tahun itu untuk pertama kalinya grafik penjualan buku yang senantiasa meningkat stabil sejak pasca-Perang Dunia II anjlok. Kecenderungan tersebut terus berlanjut hingga tahun 2001. Menurut laporan Shuppan Kagaku Kenkyujo, sebuah lembaga penelitian penerbitan yang berotoritas, nilai penjualan buku dan majalah di Jepang pada 2001 turun sebanyak 3% dari tahun sebelumnya, menjadi 2.320 miliar yen.

Laporan itu menyebutkan penurunan yang paling tajam terjadi pada buku-buku sastra kontemporer, sastra klasik, dan karya-karya nonfiksi di bidang kemanusiaan dan ilmu sosial. Buku-buku praktis, rekreasional, dan buku-buku bisnis tetap meraih angka penjualan yang baik. Beberapa buku berhasil mencapai puncak daftar terlaris dengan penjualan di atas tiga juta eksemplar. Terjemahan serial Harry Potter, misalnya, sejak awal kemunculan edisi Jepangnya pada Desember 1999 hingga Desember 2001, telah terjual sebanyak 7,3 juta eksemplar.

Meski mengalami pertumbuhan negatif dalam lima tahun terakhir, Jepang tetap merupakan pasar buku yang sangat besar. Jumlah buku terjual pertahun masih di atas 700 juta eksemplar dan buku baru yang dihasilkan oleh sekitar 4.300 penerbit yang aktif berkisar 65.000 judul setiap tahun. Kemerosotan yang dialami dunia perbukuan ini setidaknya menyiratkan sebuah perubahan yang sedang terjadi dalam budaya dan selera baca orang Jepang.

Jepang mulai bangkit menjadi "bangsa pembaca" pada masa Restorasi Meiji. Hasrat untuk menyamakan langkah dengan Barat memicu mereka untuk bergegas melahap berbagai literatur. Penerbitan massal mulai berkembang sejak itu. Dorongan kedua datang lewat kehancuran yang dibawakan oleh Perang Dunia II. Perpustakaan publik dibangun di mana-mana. Menyebarnya jalur kereta ke berbagai pelosok sejak 1950-an secara tidak langsung memperkuat kecenderungan masyarakat untuk membaca. Orang menghabiskan waktu beberapa jam setiap hari dalam perjalanan dengan kereta. Pembaca Jepang yang memegang buku bersampul rapi, kepala tertunduk, asyik terbenam dalam bacaannya, menjadi pemandangan yang paling banyak ditemukan di dalam gerbong, selain orang yang tertidur.

Selama masa-masa emas penerbitan Jepang pada 1950-an dan 1960-an, jumlah buku yang diproduksi pertahun terus melejit. Para pengarang seperti Yukio Mishima, Osamu Dazai, Junichiro Tanizaki, dan Yasunari Kawabata bukan hanya dibaca oleh banyak orang tetapi juga menjadi simbol budaya yang penting. Majalah sastra juga bertumbuhan, salah satunya yang paling berpengaruh yaitu majalah bulanan Shincho dengan tiras 100.000.

Pada 1990-an, berbagai perangkat elektronik mulai menggeser keasyikan dengan buku. Di dalam gerbong kereta, sekali lagi, adalah tempat yang paling representatif untuk menyaksikan pergeseran itu. Jumlah orang yang membaca dalam perjalanan kini mulai dikalahkan oleh banyaknya orang yang asyik mengutak-atik games, perangkat PDA atau, yang paling banyak, telepon genggam yang dapat digunakan untuk mengirim teks email dan berselancar di Internet. Orang-orang yang membaca pun tampaknya lebih memilih buku dan majalah komik yang menghibur dengan teks kanji yang lebih sedikit.

Survey tentang membaca yang dilakukan oleh koran-koran nasional beberapa waktu lalu menunjukkan penurunan dramatis dalam jumlah orang muda yang membaca buku. Hasil survey Yomiuri Shinbun mengungkapkan persentase orang yang "tidak membaca satu buku pun bulan lalu" hampir tiga kali lipat dari jumlahnya pada tahun 1980-an dan 1970-an. Pada 1998 jajak pendapat Mainichi Shinbun mengungkapkan 67% siswa sekolah menengah atas yang merespons mengatakan mereka tidak membaca buku apa pun bulan sebelumnya, dua kali lipat dibanding hasil survei yang sama pada 1975. (Survey ini tidak memasukkan buku-buku komik, referensi, kamus, dan buku teks.)

Tinjauan sekilas pada jenis buku-buku yang laris dapat memberi gambaran lain tentang perubahan ini. Di antara buku yang menduduki daftar terlaris untuk waktu lama adalah Gotan Fumanzoku, karya autobiografis Hirotada Ototake, seorang pria yang lahir tanpa kaki dan tangan namun tetap bersemangat dalam hidupnya, menamatkan studinya di Universitas Waseda dan pernah menjadi presenter berita olahraga di televisi. Kemudian Dakara Anata mo Ikinuite, autobiografi Mitsuyo Ohira, seorang wanita yang menjadi sasaran olok-olok ketika duduk di sekolah menengah, pernah mencoba bunuh diri ketika remaja, menikah dengan seorang gangster pada usia enam belas, bercerai, namun kemudian berhasil bangkit dari masa lalunya dan kini menjadi pengacara. Kisah-kisah mengharukan dan memancing air mata seperti ini banyak diminati pembaca Jepang.

Buku-buku yang terkait dengan media televisi juga sangat digemari, seperti novelisasi drama televisi (sinetron), buku tentang acara televisi, atau yang ditulis oleh para bintang televisi, penyanyi dan selebritis. Salah satu buku "telesellers", demikian istilah untuk buku jenis ini, yang menduduki tangga terlaris belakangan ini adalah Platonic Sex karya seorang bintang televisi, Ai Iijima, yang mengisahkan secara terbuka tentang kehidupannya.

Termasuk yang banyak diminati adalah buku-buku tentang cara hidup dan spiritualitas yang mengklaim dapat membantu orang mengubah cara pandang tentang hidup dan menjanjikan ketenteraman emosional. Di antaranya adalah Jinsei no Mokuteki (Tujuan Hidup Manusia) karya Hiroyuki Itsuki tentang cara hidup dari sudut pandang religius, Kofuku no Kagaku (Revolusi Kebahagiaan) dari Ryuho Okawa, seorang yang mengaku mendapat pencerahan Buddhis, dan Shin Ningen Kakumei (Revolusi Baru Manusia) oleh Daisaku Ikeda yang menyajikan sejarah organisasi keagamaannya dalam gaya fiksi. Daftar terlaris juga banyak ditempati buku-buku yang terkait dengan games dan anime (film animasi). Tiga jilid buku panduan games dan permainan kartu Yu-Gi-O: Dueling Monster, yang diadaptasi dari manga dengan judul yang sama, menduduki daftar sepuluh buku terlaris dalam enam bulan pertama tahun 2001.

Kecenderungan untuk memilih buku praktis dan menghibur juga tampak pada jenis buku terjemahan yang laku keras. Di antara buku-buku terjemahan yang meraih sukses tersebut adalah Who Moved My Cheese dari Spencer Johnson yang terjual lebih dari tiga juta eksemplar, Don't Sweat Small Stuff dari Richard Carlson, Why Man Can't Listen and Women Can't Read Map dan Rich Dad, Poor Dad yang meraih popularitas besar di negeri ini dan menduduki daftar buku terlaris selama berbulan-bulan.

Walaupun semakin banyak orang lebih mencari buku-buku yang ringan, praktis, dan menghibur, bukan berarti tidak ada penulis-penulis besar yang dapat hidup dari karyanya di Jepang. Buku-buku karya para novelis seperti Ryutaro Shiba, Junichi Watanabe, Haruki Murakami, Banana Yoshimoto, dan Ryu Murakami, meski tidak masuk daftar buku terlaris, tetap dapat terjual hingga ratusan ribu eksemplar.

Awal kemunduran minat atas literatur sastra dan nonfiksi di Jepang barangkali telah dimulai sejak 1980-an, ketika angka penjualan majalah mulai melampaui buku. Dalam tahun-tahun itu bermunculan sejumlah besar majalah baru, terutama majalah komik yang sangat digemari dan telah mengembangkan subkultur sendiri. Tak sedikit di antara majalah tersebut meraih tiras di atas dua juta setiap edisinya. Penerbit-penerbit besar mulai bergantung pada penjualan majalah selama 1990-an dan kecenderungan ini terus berlanjut hingga sekarang.

Buku tampaknya bukan lagi menjadi andalan para penerbit untuk dapat bertahan. Bisnis mereka kini berpusat pada majalah, terutama majalah komik dan serial buku komik. Penerbit-penerbit terbesar Jepang saat ini, seperti Kodansha, Shueisha dan Shogakukan, adalah penerbit-penerbit majalah dan komik. Pada titik puncaknya, seperempat hingga sepertiga barang cetakan yang diproduksi di Jepang berupa komik yang terbit dalam bentuk majalah mingguan atau bulanan dengan tebal setiap edisinya bisa mencapai tiga sentimeter.

Akan tetapi genre komik juga tak selalu kebal dari tren penjualan yang buruk. Para penggila komik pun mulai mengalihkan keasyikannya pada perangkat-perangkat elektronik. Penerbit-penerbit terdesak untuk mencari strategi pasar yang lebih baru. Salah satu pendekatan yang mereka ambil adalah dengan mengeluarkan edisi bunko (edisi paperback murah, yang pada awalnya digunakan untuk cetak ulang buku-buku lama tapi kini juga untuk buku-buku baru) dengan proses produksi baru yang sederhana dan dipercepat. Penerbit mencoba meragamkan edisi bunko ini untuk menarik perhatian pembaca.

Situasi terpuruk perbukuan ini telah memicu lahirnya buku-buku yang membahas persoalan yang dihadapi industri penerbitan Jepang. Perintis di barisan ini adalah buku yang berjudul Dare ga Hon o Korosu no ka (Siapa yang Membunuh Buku) karya Shinichi Sano, seorang penulis nonfiksi yang populer. Buku yang terbit pada Februari 2001 ini bukan hanya menimbulkan kegemparan di dunia penerbitan, tetapi juga terbilang terjual sangat baik untuk buku tentang kisah di balik layar sebuah industri tertentu. Penulis lain yang menyusulnya adalah Kazuhiro Kobayashi yang mengeluarkan Shuppan Daihokai (Keruntuhan Penerbitan) pada April tahun yang sama, dua bulan kemudian disusul oleh Hiroshi Kagawa dengan Shuppan Saisei (Pembaruan Penerbitan), dan Keizaburo Seimaru dengan Shuppan Doran (Gangguan di Dunia Penerbitan) pada Juli 2001.

Persoalan bukan terdapat pada konsumen, begitu menurut penulis-penulis ini, tapi pada sistem yang berlaku dalam industri penerbitan Jepang. Ada tiga hal yang membedakan industri penerbitan di Jepang dengan negara lain. Pertama, sistem harga tetap. Kedua, distribusi buku yang menggunakan jalur distribusi majalah. Ketiga, besarnya jumlah buku dan majalah baru (total sebanyak 69.000 pada tahun 2001) dan jumlah toko buku (sekitar 26.000 menurut Asosiasi Penerbit Buku Jepang).

Dengan sistem harga tetap industri perbukuan Jepang tidak mengenal istilah rabat. Stok lama dapat dijual dengan harga yang tidak berubah. Penjualan dilakukan dengan cara konsinyasi dan buku-buku yang tidak terjual dapat dikembalikan dengan bebas. Tingginya produksi mengakibatkan sejumlah besar buku dan majalah baru dikirim ke toko setiap bulan, sehingga buku-buku tak dapat dipajang terlalu lama di rak toko. Karena terbatasnya ruang dalam toko, tak jarang paket buku tersebut langsung dikembalikan ke penerbit tanpa membuka bungkusnya. Akibatnya tingkat pengembalian buku yang tak terjual ke penerbit menjadi sangat besar, rata-rata 40% dan pernah mencapai 50% pada titik tertingginya di bulan Agustus 1997.

Sistem harga tetap ini yang dikritik oleh Shinichi Sano. Sistem ini, menurutnya, membuat agen distributor dan toko buku dapat mendistribusi dan menjual buku tanpa risiko karena hanya mementingkan komisi. Sistem ini memang telah berhasil memproteksi dan menumbuhkan usaha penerbitan yang kuat di Jepang pada masa pasca-Perang Dunia II, tetapi, kata Sano, kini perlu diubah karena justru menghambat pertumbuhan yang lebih sehat di zaman yang telah berganti.

Kobayashi mengkritik dunia penerbitan yang terlalu menggelembung pada periode 1990-an ketika sekitar 200 terbitan baru diproduksi setiap hari dan toko-toko buku besar dengan lantai yang amat luas menjamur. Kritikus soal perbukuan Jepang selama setengah abad ini mengatakan, industri penerbitan Jepang akan lebih terkendali jika produksinya dibatasi sebanyak 30.000 buku baru pertahun. Dia juga mengusulkan sistem pembelian berdasarkan pesanan untuk menggantikan sistem konsinyasi dengan harga tetap.

Bermunculannya buku-buku semacam ini menunjukkan adanya sense of crisis yang besar di lingkungan dunia perbukuan Jepang, sekaligus bisa menjadi indikasi parahnya situasi yang sedang dihadapi. Perubahan tak terelakkan tampaknya akan terjadi pada wajah industri penerbitan Jepang. Berbagai kekuatan, baik dari dalam yang menyangkut sistem yang berlaku, maupun dari luar yang menyangkut minat konsumen dan serbuan teknologi digital, telah mendesak penerbit untuk mencari strategi baru untuk bertahan.

Kini ketika serbuan teknologi digital dan perangkat elektronik yang mudah dibawa ke mana-mana mulai banyak menggantikan keasyikan dengan buku di waktu luang, banyak penerbit mengambil langkah untuk menggunakan media baru tersebut dalam berproduksi. Namun tak sedikit pula yang yakin, kertas yang telah memiliki tradisi panjang akan tetap menjadi media utama penyaluran informasi. Seperti di negara-negara lain, penerbit di Jepang kini tengah berada di persimpangan jalan menuju wajah barunya di abad kedua puluh satu. Novelis Kyoji Kobayashi, dalam Japanese Book News nomor 20, bertanya, "Apakah penerbitan sastra akan kembali berjaya, atau apakah akan muncul jenis penerbitan baru dengan kesadaran budaya yang berbeda? Saya yakin saat ini merupakan titik persimpangan bagi dunia penerbitan Jepang."[]

Tokyo, Februari 2002. (oocities.org)

No comments:

Post a Comment