Sunday, February 27, 2011

5 Langkah Produktif Menjadi Penulis Best Seller

Anda mungkin akan punya kemampuan bisa menjadi penulis best seller dengan menemukan rahasia menjadi penulis best seller yang diungkapkan oleh mas Edi.

Inilah rahasia mas Edy menjadi penulis buku best seller.

Beberapa hari lalu, seorang sahabat penulis mengirimkan SMS kepada saya. Bunyinya demikian, “Selamat siang Mas Edy. Saya mau membentuk kebiasaan menulis. Boleh tahu lima kebiasaan Mas Edy yang dirasakan efektif mendukung menjadi seorang penulis produktif bestseller? Terima kasih.”

SMS tersebut menggelitik saya untuk menuliskan artikel ini. Sebenarnya, saya sendiri tidak sepenuhnya yakin, apakah saya sungguh-sungguh memiliki kebiasaan-kebiasaan yang dia maksud. Tetapi, kalau boleh bercerita di sini, saya memang memiliki sejumlah kebiasaan dalam proses kreatif penulisan. Sebagian di antaranya memang benar-benar sudah jadi kebiasaan saya saban hari, sementara yang lain merupakan proses yang tampaknya menuju ke arah terciptanya kebiasaan baru.

Nah, mungkin saja kebiasaan-kebiasaan itulah yang membuka peluang saya untuk tetap produktif menulis. Mungkin pula, kebiasaan-kebiasaan itulah yang—langsung atau tidak langsung—ikut berpengaruh dan menjadikan buku-buku saya bestseller. Apa saja kebiasaan tersebut? Ini dia ceritanya.

Pertama, saya selalu menyukai tema-tema tulisan yang saya prediksi bakal menarik minat serta sungguh-sungguh bermanfaat bagi saya sendiri maupun pembaca. Saya pun selalu membaca tulisan-tulisan—yang menurut saya sendiri—sangat menarik perhatian saya. Nah, kebiasaan untuk selalu intens dengan hal-hal menarik dan bermanfaat inilah yang kemudian mendorong saya untuk terus berusaha menulis tema-tema pilihan.

Contoh, ketika saya melihat dan mendengar bahwa tema-tema wirausaha begitu digemari oleh masyarakat, saya pun mencoba mempelajari dengan detail dan berusaha menuliskannya. Tulisan semula hanya berwujud rajutan kiat-kiat berwirausaha, dan di lain waktu saya kembangkan menjadi tulisan yang lebih lengkap. Ketika dikompilasi, hasilnya adalah buku laris Resep Cespleng Berwirausaha (Gradien, 2004). Pola ini juga terjadi pada kasus artikel-artikel atau buku-buku saya lainnya.

Kedua, saya selalu mencatat setiap ide tulisan di sebuah “buku bank ide” dalam bentuk judul. Mengapa dalam bentuk judul? Sebab, inilah kebiasaan saya untuk memampatkan atau mengkristalkan gagasan-gagasan—yang mungkin saja panjang lebar—ke dalam bentuk yang simpel, mudah diingat, dan yang terpenting memotivasi/memprovokasi saya untuk mengelaborasinya menjadi naskah buku.

Minimal, ide-ide dalam bentuk judul itu sudah menggambarkan adanya tabungan ide kreatif saya. Makanya, dalam beberapa kesempatan saya sampaikan bahwa saya sampai memiliki lebih dari 700 judul tema buku atau artikel. Namun, yang tak kalah penting adalah tindak lanjut atau kreasi berikutnya atas bank ide tersebut. Dan ternyata, saya sangat terbantu oleh bank ide tersebut dalam setiap proses penulisan dan penyuntingan. Baik untuk keperluan pribadi, penerbitan, maupun saat menangani klien-klien saya.

Ketiga, saya menjadikan aktivitas menulis sebagai sebuah kesenangan yang menantang. Apa kesenangannya dan apa pula tantangannya? Kesenangannya adalah bahwa saya bisa menjadikan aktivitas menulis sebagai sesuatu yang memberikan dampak finansial. Saya teramat sadar dan meyakini bahwa seorang penulis dapat hidup layak dari pekerjaan atau profesinya sebagai penulis. Asalakan, dia mampu memanfaatkan kemampuan menulis itu dengan baik.

Aktivitas menulis menjadi begitu menyenangkan bagi saya karena bisa memberikan penghasilan dalam bentuk honor, professional fee, maupun royalti. Dengan kemampuan menulis yang baik (termasuk di dalamnya kemampuan editing), membuat hari-hari saya dipenuhi oleh pekerjaan yang berkutat pada soal tulis-menulis dan penerbitan. Tapi yang tak kalah penting, aktivitas ini memberikan sumber penghidupan yang amat memadai.

Tantangannya, saya selalu terdorong untuk menghasilkan karya yang lebih baik, lebih banyak lagi, serta lebih diterima oleh para pembaca. Tantangan ini membuat saya tidak mau berhenti belajar untuk terus meningkatkan kemampuan menulis. Saya bahkan belajar kepada klien-klien yang saya tangani, yang notabene banyak di antaranya yang baru pertama kali belajar menulis. Setiap pengalaman, peristiwa, atau situasi yang berbeda bisa menjadi inspirasi yang kaya bagi dunia kepenulisan saya maupun proses pengembangan diri saya sendiri.

Keempat, saya menjadikan aktivitas menulis sebagai salah satu komponen utama dalam proses pengembangan diri saya. Aktivitas menulis tidak akan lepas dari proses belajar. Dan, belajar adalah intisari proses pengembangan diri. Maka, jika kita belajar atau sedang menulis, maka sesungguhnya kita sedang mengembangkan atau mengaktualisasikan potensi-potensi dalam diri kita, supaya kemudian ada progress dalam kehidupan kita.

Saya temukan bahwa ketika kita menulis, sejatinya—dalam bahasa Stephen R. Covey—kita sedang mengembangkan realitas kita. Dalam menulis pula, sejatinya—dalam bahasa Wallace D. Wattles—kita sedang menjadikan ide mewujud menjadi peristiwa, realitas, atau materi. Makanya, memupuk kebiasaan menulis, dalam pandangan saya, sama saja artinya untuk membuktikan kebenaran teori-teori para penulis-motivator legendaris tersebut.

Hari demi hari saya semakin yakin bahwa menulis merupakan instrumen pengembangan diri yang luar biasa. Sebab, saya alami sendiri, saya temukan, dan saya ikut bersinggungan langsung dalam serangkaian proses perubahan hidup sejumlah orang yang kemudian menjadi penulis. Makanya tidak ada keraguan lagi, manakala kita mulai membiasakan diri untuk menulis, maka satu pintu perubahan hidup sudah ada di depan kita.

Kelima, saya selalu berusaha memublikasikan tulisan-tulisan yang sudah saya selesaikan. Bagi saya, menulis itu ada misinya tersendiri, yaitu untuk menanamkan pengaruh tertentu kepada pembaca. Sementara, hanya tulisan yang “hidup” saja yang bisa mempengaruhi orang. Namun, tulisan baru “hidup” atau “punya nyawa” jika sudah dibaca oleh orang lain. Nah, untuk menghidupkan tulisan atau memberinya nyawa, jalan satu-satunya adalah dengan memublikasikan tulisan tersebut.

Waktu SD dulu, “media” saya untuk memublikasikan tulisan saya adalah buku tulis bergaris, dan pembacanya adalah keluarga sendiri atau teman-teman sekelas. Waktu SMP, pantun saya pernah dimuat di koran mingguan Sinar Pagi Minggu (sehingga “mempengaruhi” seorang mahasiswa untuk berkorespondensi dengan saya he he he...). Waktu SMA, mading (majalah dinding) adalah media ekspresi saya.

Saat kuliah di Yogyakarta, saya mulai dari memublikasikan tulisan di majalah kampus Balairung, surat pembaca di majalah Tempo, sampai kemudian mampu merambah media massa seperti Kedaulatan Rakyat dan Bernas. Ketika menjadi wartawan, saya sudah tidak lagi dipusingkan dengan urusan mencari wadah untuk publikasi tulisan-tulisan saya.

Kini, saat saya menjalankan profesi sebagai editor, penerbit, dan penulis buku, ruang untuk menghidupkan tulisan itu terasa berlimpah. Tapi, saya pikir saat ini semua penulis atau siapa pun yang baru belajar menulis, sesungguhnya mempunyai ruang berlimpah untuk memublikasikan tulisannya. Kita bisa lirik mailing list, blog, maupun website umum yang relevan serta memang mau menampilkan tulisan kita.

Prinsip yang saya tekankan kepada semua penulis, yang terpenting adalah jangan sampai menjadikan tulisan kita seperti “mumi”. Tulisan yang diperlakukan seperti “mumi” ini—yang dibungkus, disimpan rapi, atau malah disembunyikan—tidak akan pernah “hidup” dan memberikan pengaruh. Jadi, beri nyawa pada tulisan kita dengan memublikasikannya.

Apakah hanya lima kebiasaan ini saja? Ya, karena diminta lima kebiasaan, jadi yang saya tulis ya lima saja he he he... Mungkin ada yang lain, tapi saya belum terpikir sama sekali atau malah tidak menemukannya. Yang pasti, hampir semua penulis sukses memiliki kebiasaan yang umum alias standar, tapi ada juga kebiasaan-kebiasaan yang unik atau khas. Namun, semuanya bermuara pada hasil atau prestasi yang mereka raih.

Bagi sahabat saya yang menanyakan soal kebiasaan-kebiasaan menulis saya ini, saya tekankan bahwa yang terbaik adalah menemukan dan menumbuhkan kebiasaan sendiri. Artinya, boleh saja kita berkaca pada sekian banyak kebiasaan penulis sukses. Tapi, itu semua hanya “makanan tambahan” alias inspirasi saja bagi proses kreatif kita. Jadi, kalau bermaanfaat, ya ambil, kalau malah jadi beban, ya tinggal saja. Sebab, yang lebih penting adalah menemukan kebiasaan sendiri, yang paling efektif dan paling disukai. Karena, muara kita tetap pada produktivitas dan kualitas karya.

Selamat menumbuhkan kebiasaan menulis yang terbaik. Dan, salam bestseller.[ez]

* Edy Zaqeus adalah penulis buku-buku best-seller, konsultan penulisan & penerbitan, editor Pembelajar.com, dan trainer di Sekolah Penulis Pembelajar (SPP). Ia juga mendirikan Bornrich Publishing dan Fivestar Publishing yang berhasil menerbitkan sejumlah buku best-seller. Nantikan workshops Edy Zaqeus tentang "Bagaimana Membuat Blog Menjadi Buku", "Bagaimana Cara Menerbitkan Buku Sendiri", dan "Cara Gampang Menulis Buku Best-Seller" pada November-Desember 2007. (trainer-tcc.blogspot.com)

No comments:

Post a Comment