Sepotong sajak, sebaris kata bijak, sepenggal cerita, sedikit keuntungan rupiah, sealinea biografi, secangkok lagu dangdut, begitu sering dapat membangkitkan gairah untuk segera beraksi. Dalam menulis dibutuhkan ketekunan. Para penulis senior biasanya membeberkan banyak keuntungan yang bisa diraih dari olah tulis dan menjadi penulis atau pengarang yang produktif.
Gairah menulis perlu dipompa terus. Proses kreatif tidak boleh berhenti. Karenanya, dibutuhkan kembali kehadiran perangkat-perangkat untuk penyemangat dalam menulis.
Sudah lama The Liang Gie memaparkan temuannya bahwa, ada enam nilai manfaat yang diperoleh para penulis (pengarang) yaitu, nilai kecerdasan, nilai kependidikan, nilai kejiwaan, nilai kemasyarakatan, nilai keuangan, dan nilai kefilsafatan.
Pembaca budiman, kalau mau, kita mampu menambah lebih panjang daftar manfaat menulis. Apa bisa? Seperti kata sebuah iklan, “bisa”. Asal giat berlatih, banyak membaca, bekerja lebih keras lagi. Dan lebih keras lagi.
Semakin kita dapat meraba keuntungan-keuntungan dalam menulis plus memahami sejumlah kesulitan, maka insya Allah gairah menulis akan terjaga, bahkan grafiknya tambah meningkat.
Berberapa upaya agar semangat mengolah tulisan makin bergairah.
1. Membaca Mahakarya Penulis atau Pengarang Dunia
”Di belakang tiap kata berdiri suatu dunia, tiap orang yang menggunakan kata harus menyadari bahwa ia menggoyang dunia”, demikian tulis Hernowo mengutip pernyataan Heinrich Boll.
Saya setuju. Betapa memang manusia sangat dipengaruhi oleh kata-kata yang didapatinya. Entah dengan membaca atau mendengar. Tentu saja kekuatan bacaan lebih ampuh karena bisa dipelajari berulang-ulang, walau dalam rentang waktu yang sangat jauh jaraknya, antara saat kata-kata itu ditulis dengan dibaca.
Perubahan besar sejarah dunia, ternyata banyak digerakkan oleh kekuatan bacaan. Kita tahu dalam sejarah Islam, hanya dalam waktu 22 tahun 2 bulan 22 hari semenanjung Arabia yang dihuni oleh masyarakat jahiliyyah berubah total akhlaknya. Masyarakat yang gemar melecehkan kaum wanita, menjadi penyayang dan pelindungnya. Pedang yang biasanya digunakan untuk menyelesaikan masalah, diganti dengan solusi musyawarah. Sungguh pun perubahan terjadi terutama karena keteladanan dari Nabi Muhammad Saw.. tapi yang ingin saya tekankan adalah perubahan-perubahan besar itu dimulai dengan perintah “membaca” (Lihat QS. Al-‘Alaq [95]: 1-5).
Membaca dengan segala macam kandungan dan falsafahnya, telah sanggup merubah peradaban. Kenyataan sejarah di orde yang berbeda kembali membuktikan. Perubahan-perubahan dahsyat di pentas dunia dipelopori oleh bacaan-bacaan atau tulisan-tulisan.
Seorang penulis produktif yang juga muballigh, yakni KH. M. Isa Anshary (Allahu yarham), mengurai betapa hebatnya pengaruh tulisan (bacaan). Saya tulis ulang pernyataannya dari buku “Mujahid Dakwah” (Diponegoro, 1995).
“... Revolusi-revolusi besar di dunia, selalu didahului oleh jejak pena dari seorang pengarang. Pena pengarang mencetuskan suatu idea dan cita, menjadi bahan pemikiran pedoman berjuang. Revolusi Perancis bergerak di bawah cahaya pikiran dan cetusan pandangan yang dirintiskan oleh J.J. Rousseu dan Montesquieu. Revolusi Amerika dibimbing oleh ‘Declaration of Independence’ (Fatwa Kemerdekaan) yang sampai kini dijadikan pedoman besar oleh bangsa Amerika. Revolusi Rusia dan perjuangan kaum komunis di seluruh dunia dipimpin oleh ‘Comunistisch Manifest’, karya Marx dan Engels. Nazi Jerman bergerak di bawah petunjuk buku Mein Kampf buah tangan pimpinan mereka Hitler.
Revolusi Tiongkok berpedoman kepada San Min Chu I karangan Sun Yat Sen. Revolusi Indonsia didahului oleh pemikiran-pemikiran revolusioner dari Bung Karno, Hatta, Syahrir dan Tan Malaka. Pidato pembelaan Bung Karno di muka pengadilan kolonial di Bandung ‘Indonesia menggugat’ brosur revolusioner ‘Mencapai Indonesia Merdeka (MIM)’, pidato pembelaan Bung Hatta di muka pengadilan Den Haag yang berjudul ‘Indonesia Vrij’ dan buku kecilnya ‘Ke arah Indonesia Merdeka (KIM)’, tulisan-tulisan Syahrir dalam ‘Daulat Rakyat’ tentang taktik dan straegi perjuangan, buku-buku Tan Malaka yang diselundupkan dari luar negri, semua itu telah menjadi aspirasi dan inspirasi bagi perjuangan kemerdekaan tanah air. Renaissance Alam Islamy, gerakan reformasi dan modernisasi Taimiyah, Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Amir Syakib Arsalan dan Abdurahman Al-Kawakibi. Pembinaan negara Islam Pakistan didahului oleh buku-buku Mohammad Iqbal...”
Pembaca budiman, dengan membaca tulisan-tulisaan mahakarya penulis kelas dunia, kita akan mendapatkan semacam ruh kekuatan untuk melahirkan tulisan yang mengguncang dunia. Tentu saja ambil yang positifnya. Pastikan kita mendapatkan hikmah dari proses kreatif mereka. Untuk menuliskan pendapat dan pikiran saja, mereka banyak mengalami sederetan penderitaan.
2. Bagian dari Proses Menyembuhkan
Inilah pengakuan Hernowo, penulis “Mengikat Makna” dan “Andaikan Buku Itu Sepotong Pizza”, yang banyak mendapat tempat di hati pembaca itu. “Menulis bagi saya tidak sekadar berhubungan dengan tinta dan kertas. Menulis adalah proses ‘menjadi’ dan ‘berkembang’. Lewat menulislah kadang saya mampu memecahkan beberapa persoalan yang ‘menekan diri saya’. Simak lagi pernyataannya, “menulis bagi saya, merupakan kegiatan yang ‘ringan’. Ini lantaran menulis saya persepsikan sebagai kegiatan yang menyembuhkan.”
Usai membaca ungkapan tersebut, saya segera ingat bahwa, manusia yang paling gampang ruwed, capek, bosan dan cepat jenuh. Apa lagi bila melihat hal-hal yang dianggap aneh. Manusia cenderung tidak mampu menyimpan apa-apa yang dialaminya. Sudah menjadi sifat manusia ingin segera menumpahkan yang dirasakannya itu.
Memori saya pun tertuju pada sebuah cerita, yang ditulis oleh KH. Abdurrahman Arrosi tentang raja bertanduk dan tukang kayu (Rosda Karya).
Seorang tukang kayu memergoki sang raja. Heran bin heran si tukang kayu, karena kepala sang raja ternyata bertanduk. Begitu pun dengan raja yang waktu itu membuka mahkotanya. Ia segera tahu bahwa, aibnya sudah diketahui seorang rakyatnya. Raja berpesan agar tukang kayu tidak menceritakan kejadian yang baru saja dilihatnya. Tukang kayu berjanji tidak akan pernah cerita kepada siapa pun.
Benar, tukang kayu tidak pernah bercerita.Tetapi ia tidak tahan lebih lama menyimpan keganjilan kepala raja. Akhirnya ia berteriak seorang diri di hutan, “raja kita bertanduk”. Dalam waktu singkat, seluruh penduduk kerajaan tahu, bahwa raja mereka bertanduk. Ternyata, saat tukang kayu berteriak, “raja kita bertanduk”, ada burung beo yang mendengarkan. Lalu burung itu terbang sambil menirukan “raja kita bertanduk”.
Yang ingin saya sampaikan, sudah pasti kita mengalami masalah-masalah berat, yang bisa disepadankan dengan tukang kayu. Meski wilayah peristiwanya berbeda, tapi merupakan bagian dari proses menyembuhkan. Masalah berat menjadi lebih ringan. Sebab, sudah ditumpahkan ke dalam tulisan.
3. Honor
Pertama kali saya terima honor tulisan tahun 1993, dari tabloid Hikmah termuat di rubrik kecil bernama “Mereka Bicara”. Jumlahnya Rp. 7.500. Senang bukan bikinan. Waktu itu masih sekolah di kelas III Madrasah Aliyah Negeri.
Saya tidak perlu malu untuk menyebutkan, bahwa honor tulisan itu menggiurkan. Setidaknya untuk level pemula. Harus kita akui pula, banyak penulis yang tidak begitu mempersoalkan honor. Kelompok ini biasa disebut kaum idealis. Asal ide-ide sudah dibaca orang, cukuplah.
Saya pernah ngobrol dengan mantan seorang Pemimpin Redaksi sebuah majalah lokal di Bandung, ia mengabarkan, dari hasil nulis resensi saja adiknya sanggup menyelesaikan kuliah di sebuah perguruan tinggi negeri di Yogyakarta. Menakjubkan.
Sepanjang tahun 1997-2002 ada beberapa tulisan saya yang dimuat. Honornya mulai Rp. 50.000-Rp. 200.000 per tulisan. Jika dibandingkan dengan honor di luar negeri, pasti honor penulis Indonsia tertinggal sangat jauh. Sewaktu ceramah di Yayasan “Jendela Seni” Pak Wilson Nadeak cerita, dengan hanya satu tulisan dimuat, di Eropa, para penulis bisa membiayai hidup selama sebulan. Selain dibayar mahal, sebuah tulisan dapat dipublikasikan ± sampai sepuluh media lewat biro jasa.
Saya berani memperkirakan, beberapa tahun ke depan honor penulis Indonsia kian membaik. Hal ini ditandai dengan munculnya banyak media massa, yang berarti apresiasi masyarakat terhadap tulisan makin bagus. Logikanya, nilai jual lebih tinggi lagi. Lahan bagi penulis melebar.
4. Shadaqah Ilmu
Budayawan Gus Dur (KH. Abdurrahman Wahid) dalam “Tadarrus Budaya”-nya kurang-lebih mengatakan begini, seorang faqih bisa mendekati Allah dengan ibadah legal formalnya. Seorang seniman bisa mendekati Allah dengan karya seninya dan seorang sastrawan bisa mendekati Allah dengan karya sastranya.
Kalau kita panjang-lebar-luas-dalamkan, bisa lebih banyak lagi. Dan saya ingin mengatakan, seorang penulis bisa menularkan ilmunya lewat tulisan. Asal yang kita tulis untuk kemaslahatan.
Shadaqah ilmu lewat media tulis kenapa tidak? Bukankah menyebarkan ilmu sangat diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Meski satu ayat, shadaqah ilmu lewat tulisan sangat strategis dari segi efektivitas dan tabungan pahala untuk meraih ridha-Nya.
Renungngkan! Allah memberikan pahala bagi orang yang memberikan jalan (petunjuk) kebaikan sebagaimana orang yang diberikan petunjuk mengerjakan kebaikan. Semakin banyak ilmu yang kita sebar, maka tambah banyaklah kemanfaatan yang diperoleh pembaca.
5. Sebagai Warisan yang Membanggakan
“Gajah mati meninggalkan gading”. Pepatah usang ini menyampaikan pesan sosial yang sangat berharga. Gajah saja yang hewan menyisakan gading yang dapat dimanfaatkan oleh manusia.
Apa yang sanggup kita wariskan? Tanah, rumah, uang, mobil, tak ada salahnya. Tetapi tidak sedikit warisan yang demikian mengakibatkan permusuhan sesama saudara sekeluarga. Terkadang juga kurang mendidik.
Kondisinya sangat berbeda, jika saja yang kita wariskan adalah ilmu. Warisan dalam tulisan (buku) punya nilai yang sangat membanggakan.
Warisan tersebut dapat membantu anak-cucu dan generasi setelah kita, untuk mempertahankan sejumlah nilai luhur yang telah kita kerjakan, sekaligus sebagai bahan guna menggali potensi yang ada.
6. Menyadari Penuh bahwa Manusia itu Makhluk Penulis
Roesli Lahani Yunus meyakinkan kepada kita dengan sebuah kutipan dari Emerson, perihal manusia sebagai penulis. “Manusia pada hakikatnya adalah penulis. Apa yang ia lihat atau alami, ia jadikan pola. Ia percaya, apa yang dapat dipikir, akan dapat pula ditulis, lambat atau cepat. Dalam tiap pembicaraan, dalam tiap bencana, dalam tiap peristiwa, dalam tiap perjalanan, ia dapatkan bahan baru untuk tulisannya atau karangannya.”
Sealinea keyakinan di atas, kiranya dapatlah mengusir keragu-raguan para penulis pemula, yang biasanya bertanya semacam ini, “mampukah saya menulis?”
Bertolak dari potensi yang dimiliki manusia itu berbeda, baik perasaan, temuan, kehobian, penyikapan mengenai sesuatu, sekiranya diolah, maka menjadi tulisan yang beragam. Satu masalah yang muncul, cara penyelesaiannya dengan beberapa alternatif. Solusi alternatif yang kita miliki, merupakan bahasan tulisan yang bermutu tinggi karena memiliki keunikan tersendiri.
Kata lainnya, menulislah dari apa yang kita rasakan, harapkan dan renungkan. Bukan dari sesuatu yang berada di luar diri kita. Dari titik ini pulalah penulis produktif semisal Hernowo dan Abu Al-Ghifari lancar menulis. Setelah memulai dari diri sendiri, barulah mereka mencari data-data pelengkap agar tulisannya menjadi lebih bertenaga sekaligus dipercaya pembaca. Dan pada proses lebih lanjut, seorang penulis akan berkata, “menulis itu sebenarnya indah.”
7. Setiap Gaya Tulisan Ada Penggemarnya
Pembaca budiman, saya mengajak Anda untuk sedikit bermimpi. Tidak banyak. Andai sejudul tulisan kita sudah selesaikan. Andai sebuah naskah untuk ukuran buku telah kita rampungkan. Masihkah kita menyisakan pertanyaan semodel “apakah tulisan bikinan saya laku di pasaran?”
Ibarat makanan, punya pengemarnya masing-masing. Yang satu hobinya pecel lele, lainnya nasi goreng, sementara di tempat yang berbeda kita temukan penikmat nasi liwet lengkap dengan sambal dan ikan asinnya.
Betapa pun demikian kuat pengaruh penulis yang kita kagumi, mewarnai gaya tulisan kita, saya setuju dengan Mohamad Fauzil Adhim, penulis buku bernuasna “pernikahan” bahwa, selekasnya kita menemukan gaya tulisan sendiri. Insya Allah, gaya tulisan yang kita peragakan ada juga yang mengambil manfaatnya, alias Suka.
By Lilis Nihwan (bukuinstan.blogspot.com)
No comments:
Post a Comment