“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang berbentuk (lain). Maka Maha Sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik. ” (Al Mukminun : 12-14)
Renungkanlah! Tahukah dari mana kamu berasal? Tahukah untuk apa kamu hidup di dunia? taukah akan kemana nanti setalh hidup di dunia?
Dalam beberapa artikel, saya selalu mengingatkan tentang tiga pertanyaan ini. Tiga pertanyaan ini adalah pertanyaan yang saya kenal dari seorang ulama timur tengah. Menurut beliau, jika kita mampu menjawab tiga pertanyaan ini dengan benar maka sesungguhnya kita telah mengetahui hakekat hidup yang sesungguhnya. Konsekuensinya, kita manusia akan mampu menjalani hidup dengan tujuan yang sebenar-benarnya, yakni kepada sang Maha penguasa atas segala sesuatu dan raja dari segala raja.
Jika kita semua merasa berasalah dari Allah yang satu, maka kita pun akan mengabdi kepada_Nya karena kita akan kembali pada_Nya pula. Meskipun hal ini menjadi pengetahun yang lumrah namun baru sebatas lahiriah saja. Pengetahuan tanpa ada internalisasi dalam proses kontempelasi (perenungan) atau belum menjadi pengetahuan ‘batiniah’, tak ada gunanya. Sekarang banyak orang yang berpengatahuan tinggi dengan berbagai gelar pendidikannya. Namun, banyak pula dari mereka bersikap tak menggambarkan seperti tingkat pendidikannya. Pengetahuan yang tinggi tak berarti memiliki sikap dan prilaku yang bermartabat tinggi pula.
Inilah yang menjadi provakator dalam batin saya. Dengan umur sekain bertambah namun usia di dunia semakin berkurang, saya harus menjadi lebih baik lagi dengan kualitas jiwa yang semakin baik. Memang dalam hidup tantangan dalam mencapai tujuan itu sebuah keniscayaan. Apalagi jika tujuan kita adalah baik maka tantanganpun juga kadang lebih banyak. Banyak yang mengeluh bahkan akhirnya putus asa dan tak mau melanjutkan misinya (tujuannya). Bahkan lebih parah dan ekstrim lagi, ketika tidak mampu mengatasi tantangan hidup tak sedikit yang sengaja mengkhiri hidupnya, bunuh diri.
Manusia yang melakukan langkah ini sangat di sayangkan karena harus dipahami bahwa bukan hidup jika tak memiliki masalah. Bahkan masalah akan berakhir ketika manusia telah sampai ke terminal kehidupan sealanjutnya yakni ketika manusia meninggal dunia. Seperti halnya dikatakan oleh seorang ulama besar, Imam Ahmad (maaf kalau nama ulamnya salah, harap diperbaiki jika salah) ketika di tanya oleh orang yang berguru padanya. Kurang lebihnya sebagai berikut, “wahai syeh!!! Kapan kita beristirahat dari masalah hidup ini?” tanya seorang murid. Imam Ahmad berkata “kita akan berhenti dari masalah hidup ketika ajal telah menjemput dan disaat itulah semua proses kehidupan kita di dunia akan dimintai pertanggung jawabannya”. Sebenarnya jika kita merenungi lagi lebih dalam, masalah memiliki fungsi yang sangat penting bagi kematangan jiwa dalam menjalani kehidupan manusia.
Sejenak saya mengajak pembaca,ayo tarik napas yang dalam dan lepaskan sambil ucapkan hamdalah, Alhamdulillah. Di umur yang sudah lumayan panjang ini, syukur tak terhingga saya ucapkan kepada sang pemberi hidup. Meskipun syukur tak hanya sebatas lafal lisan namun saya akan menyakini dengan sepenuh hati dan berusaha untuk membuktikan dalam perbuatan. Karena kehidupan tak akan bermakna jika tidak di abdikan kepada pemilik kehidupan ini. Sebagaimana pertanyaan kedua dari tiga pertanyaan tadi, Tahukah untuk apa kamu hidup di dunia? sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku hanya untuk Allah, Tuhan sekalian alam.
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku” (QS. Az-Zariyat)
Waktu terus bergulir. Semua terus berubah. Bayi menuju balita menuju anak-anak menuju remaja menuju dewasa menuju tua dan akhirnya mati, bahkan ada pula yang tak sampai tua. Demikianlah proses kehidupan manusia yang berjalan dalam waktu termasuk saya. Sekali lagi kita tidak bisa mereplay untuk mengulang masa-masa sebelumnya. Yang kita lakukan hanya merefleksi sembari membenahi apa yang masih kurang dan membaikan lagi yang telah baik. Sekali lagi semua dalam waktu.
Seorang ulama besar Imam Al Ghazali pernah menghitung betapa urgennya untuk menghargai waktu dalam kehidupan kita didunia. Beliau bernah berkata bahwa jika umur manusia 60 tahun dan rata-rata menjadikan tidurnya 8 jam sehari, maka sesungguhnya tidur manusia selama 60 tahun itu adalah 20 tahun. Belum lagi jika manusia tidur lebih dari 8 jam, apalagi selama 40 tahun itu tidak digunakan sebaik-baiknya. Bagaimana jika digunakan untuk berbuat dosa? Sungguh sia-sia hidup ini. (marwanupi.blogspot.com)
No comments:
Post a Comment