Saturday, May 4, 2013
Kekuatan Buku Berpengaruh Pengubah Sejarah Dunia
Bahwa sebuah buku adalah jendela dunia yang dapat mengubah bumi tempat kita berpijak ini, tidak ada seorang pun yang memungkirinya. Sesaat sebelum membacanya, terkadang kita hanya memandang buku sebagai suatu tumpukan kertas tak berjiwa yang penuh oleh teori-teori, cerita-cerita, curahan hati sang penulisnya dan jauh dari kenyataan hidup sehari-hari.
Namun siapa sangka, dibalik sebuah buku dapat tersimpan suatu kekuatan hebat. Sebegitu hebatnya kekuatan dari buku, sehingga ia merupakan instrumen yang berdaya kuat, mencengkeram erat, menggetarkan dan berkuasa mengubah arah peristiwa-peristiwa yang sedang atau akan terjadi. Yang bisa diarahkan untuk kebaikan maupun keburukan. Bagi kemaslahatan maupun bencana.
Kita mulai dengan mengambil contoh buku Common Sense (Pikiran Sehat) karya Thomas Paine, seorang pengarang Amerika Serikat, terbit pada 10 Januari 1776 dengan harga dua shilling (sebutan mata uang logam yang berlaku saat itu). Buku tersebut pada dasarnya sebuah pamflet, lantaran hanya setebal 47 halaman. Dalam waktu tiga bulan saja, buku tersebut terjual habis 120.000 eksemplar. Perkiraan penjualan seluruhnya mendekati jumlah setengah juta eksemplar. Suatu jumlah yang bila dibandingkan dengan jumlah penduduk yang ada masa itu, sama besarnya dengan penjualan enam puluh juta di Amerika Serikat masa sekarang.
Pendek kata setiap orang yang pandai membaca di ketiga belas koloni jajahan Inggris masa itu telah membaca buku Common Sense. Sekalipun penjualan buku tersebut luar biasa besarnya, Paine tidak bersedia untuk menerima honorarium biar sesen pun.
Tidak ada buku di Amerika Serikat masa itu yang mempunyai pengaruh begitu cepat seperti Common Sense. Buku ini laksana tiupan nyaring sangkakala yang memanggil kolonis-kolonis Amerika untuk bangkit memperjuangkan kemerdekaan mereka tanpa syarat. Paine telah mengemukakan dalam bukunya bahwa revolusi adalah jalan satu-satunya untuk menyelesaikan persengketaan mereka dengan Inggris dan Raja George III. “Lantaran tidak ada cara lain mencapai tujuan kecuali ledakan-ledakan,” kata Paine.
Hal yang membuat pena Thomas Paine begitu berarti dalam perjuangan kemerdekaan Amerika Serikat adalah ia meminum dari tinta yang gelap, lalu melukiskan cahaya…. Buku Paine ini salah satu seberkas cahaya yang diarahkan bagi kemaslahatan.
Kebalikannya, buku juga dapat mendatangkan bencana. Mein Kampf (Perjuanganku) karya Adolf Hitler contohnya. Buku ini ada yang mengatakan sebagai “karya besar propaganda zaman ini”. Pula jika dilihat dari kacamata seorang hakim Mahkamah Kejahatan Perang Internasional yang dibentuk seusai Perang Dunia II, Mein Kampf adalah “buku abad ke-20 yang paling dibebani kejahatan”. Melalui buku ini, sebuah bangsa besar, yakni Jerman, dan kawan-kawan serikatnya telah menyediakan diri untuk melaksanakan pikiran-pikran fanatik yang terkandung dalam buku tersebut.
Mein Kampf terdiri dari 2 jilid. Jilid pertama diterbitkan tahun 1925, dan jilid kedua setahun berikutnya, dengan ketebalan keduanya 700 halaman lebih. Dengan demikian buku tersebut terbit jauh hari sebelum Adolf Hitler mengambil kendali pemerintahan di Jerman pada 1933. Oya, dua jilid buku dimaksud juga telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh penerbit Narasi, dan tersedia di toko-toko buku tanah air.
Sesungguhnya Mein Kampf lebih merupakan buku yang diucapkan ketimbang yang dituliskan. Buku tersebut diselesaikan saat Hitler meringkuk dalam penjara Bavaria. Orang yang menyertai Hitler dalam penjara adalah pengikutnya yang setia, Rudolf Hess. Jilid pertama dari buku ini didiktekan kepada Hess dan langsung diketik di atas sebuah mesin ketik. Buku ini dipersembahkan kepada 16 orang Nazi yang gugur dalam pemberontakan Munich. Aslinya buku jilid pertama diberi titel “Empat Setengah Tahun Perjuangan Melawan Dusta, Kebohongan dan Kepengecutan“. Lantas oleh penerbit, diubah menjadi Mein Kampf yang berarti Perjuanganku. Sementara itu, jilid kedua diselesaikan dan terbit pada tahun 1926.
Di Jerman, sewaktu Perang Dunia II pecah pada 1939, 5.000.000 (lima juta) eksemplar buku Mein Kampf telah diedarkan. Nyanyi pokok buku karya Hitler –yang selalu diulang-ulang– ialah ras, kemurnian ras, keunggulan ras dan keangkuhan ras, seraya merendahkan ras lain, utamanya ras Yahudi.
Didorong oleh percikan api buku Mein Kampf ini, dan propaganda masif yang menyertai, kaum Nazi pada Perang Dunia II tanpa rasa berperikemanusiaan telah membakar dan membumihanguskan kota-kota, serta menewaskan jutaan orang di daratan Eropa. Hanya karena berbeda ras. Dalam hal ini kaum ras Yahudi, Gipsy, Negro dan lain-lain di luar ras Arya.
Menurut Norman Cousins, seorang wartawan politik Amerika Serikat yang juga aktivis perdamaian dunia, “Buku Mein Kampf adalah buku yang paling efektif dalam abad ke-20… Bagi setiap kata yang terdapat di dalamnya 125 nyawa telah hilang; bagi setiap halaman 4.700 jiwa lenyap; dan bagi setiap bab lebih dari 1.200.000 nyawa melayang”. Kehebatan buku Mein Kampf, kata Cousins lebih lanjut, lantaran ia merupakan kitab suci politik rakyat Jerman, dan pembimbing politik dari Reich Ketiga itu dari tahun 1933 sampai akhir Perang Dunia II.
***
Dari pemaparan berdasarkan dua buah contoh buku di atas, yakni Common Sense dan Mein Kampf, ternyata kekuatan sebuah buku yang dapat mengubah sejarah dunia bukan dilihat dari tebal tipisnya jumlah halaman. Common Sense, buku tipis hanya 47 halaman, tidak lebih dari sebuah pamflet. Sementara Mein Kampf, cukup tebal dengan lebih dari 700 halaman.
Di mana rahasia kekuatan sebuah buku? Dalam konteks tulisan di atas, inilah hukum besi yang berlaku di mana-mana: tiada lain lantaran tuntutan zaman telah siap buat para penulis bersangkutan. Rakyat Amerika kala itu tengah bersitegang dengan Inggris hingga melahirkan perang kemerdekaan. Sumbu-sumbu pendek dinamit yang siap terbakar dan meledak, mendapatkan percikan api lebih cepat dari pamflet Common Sense Thomas Paine.
Demikian pula Jerman di masa Hitler hidup. Dipermalukan sebagai bangsa melalui Perjanjian Versailles pada 1919 oleh Sekutu karena kalah dalam Perang Dunia I, ekonomi Jerman kalang kabut dan terhempas di titik nadir. Kehidupan dan masa depan tidak menentu. Kondisi psikologi publik semacam itu melahirkan perlunya suatu kambing hitam. Lantas, ras Yahudi di Eropa dipersalahkan sebagai penyebab kekacauan tersebut dan sasaran utamanya. Terbitnya Mein Kampf karya Adolf Hitler dinilai sebagai jawaban atas situasi kacau itu. Dan ia dianggap membawa pesan-pesan yang acapkali emosional sifatnya.
Dua buah buku semacam dikupas sekilas di atas, harus diakui memiliki kekuatan-kekuatan. Kekuatan dimaksud bisa menimbulkan pengaruh baik maupun buruk. Lebih daripada itu, keduanya menorehkan rekor dari segi besarnya jumlah eksemplar yang diterbitkan. Pula tingkat keterbacaan tinggi.
Sejatinya dalam konteks tulisan bertajuk “Kekuatan Buku Berpengarus Pengubah Sejarah Dunia” ini, buku bukanlah untuk mengukur nilai-nilai moral, akan tetapi untuk menunjukkan bahwa buku adalah suatu instrumen belaka. Yang dapat menjadi senjata-senjata dinamis dan hebat, tergantung sejauhmana kita meresapi dan mendalami kandungan isinya.
Mengenai pengaruh dan kekuatan yang dapat ditimbulkan oleh suatu buku bagi manusia dan kebudayaannya, ada baiknya pula jika saya sitir kata-kata seorang penulis Amerika Serikat, Ray Bradbury. Dengan kalimat menyentak ia mengatakan, “Anda tidak perlu membakar buku jika ingin menghancurkan kebudayaan. Perintahkan orang untuk berhenti membaca, itu sudah cukup!”.
*****
Buku-Buku Pengubah Sejarah, Robert B. Downs, alih bahasa Asrul Sani, Penerbit Tarawang Press Yogyakarta, April 2001.
http://en.wikipedia.org/wiki/Mein_Kampf
(dwikisetiyawan.wordpress.com)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment