Di pinggir-pinggir jalan, kita akan menemukan spanduk politisi bertebaran di mana-mana, pohon-pohon akan berubah fungsi menjadi galeri tempat menempelkan foto-foto politisi dengan slogan-slogan ajakan kepada rakyat. Sepanjang waktu tahun 2013 menuju Pemilu 2014 bagi politisi disebut tahun pemasaran politik.
Karena itu, Sipil Institut (Studi Investasi Politik Indonesia) sebagai institusi independen terus melakukan workshop pemasaran politik ke beberapa daerah untuk meluruskan persepsi yang salah tentang pemasaran politik. Hal ini menjadi penting dipahami politisi, karena berbicara masalah pemasaran itu berarti ada dua elemen pelaku utamanya, yaitu ada “penjual” yang menawarkan produk dan ada “pembeli” yang membeli produk.
Selama ini, pemasaran politik sengaja atau tidak sengaja sudah berubah menjadi money politics, karena politisi bertindak sebagai pembeli suara dengan menggunakan alat bayar beragam seperti pemberian sembako, pembagian amlop, bakti sosial dan sejenisnya. Rakyat kemudian bertindak sebagai penjual suara. Ada fenomena beberapa komunitas pemilih akan menjual suaranya kepada politisi yang bisa membelinya dengan harga paling tinggi.
Kalau pemasaran politik seperti ini terus dibudayakan dalam sistem politik Indonesia, maka jangan terlalu berharap dalam pemilu legislatif 2014 akan melahirkan legislator atau pemimpin yang amanah berpihak kepada rakyat. Sebaliknya yang muncul adalah politisi-politisi bermental korup. Faktanya sudah 290 orang kepala daerah (gubernur/wali kota/bupati) terlibat korupsi, dan 2.553 orang anggota DPRI/DPRD terlibat korupsi.
Kondisi ini disebabkan kapitalisasi politik selalu berbanding lurus dengan tingkat korupsi. Semakin tinggi biaya politik semakin tinggi peluang korupsinya. Sebaliknya berbanding terbalik dengan tingkat keberpihakan kepada rakyat. Semakin tinggi biaya politik semakin rendah keberpihakan kepada rakyat. Politisi yang menang karena membeli suara rakyat (money politics), maka selama masa jabatannya hampir semua waktunya dipergunakan untuk mengembalikkan biaya politik yang sudah dikeluarkan. Lalu kapan memikirkan nasib rakyat, apalagi membangun daerahnya? Itulah konsekuensi pemasaran politik yang salah diartikan.
Sejatinya pemasaran politik yang benar adalah politisi yang bertindak sebagai penjual, dengan menawarkan gagasan, ide-ide kreatif, pemikiran solusif, integritas, loyalitas, kebenaran, kejujuran, keadilan, moralitas, dan konsistensinya berpihak kepada rakyat. Kemudian rakyat yang bertindak sebagai pembeli dengan menggunakan alat bayar suaranya dalam pemilu legislatif maupun pemilu presiden 2014.
Kesalahan pemaknaan “pemasaran politik” inilah yang kemudian menginspirasi Sipil Institut melakukan roadshow ke beberapa daerah memperkenalkan strategi “Investasi Politik” yang berisi cara cerdas berpolitik dengan biaya murah dalam memenangkan pemilu legislatif 2014. Bagaimana seharusnya politisi menjual gagasan dan integritasnya ke rakyat, dan bagaimana seharusnya rakyat memilih politisi dan pemimpin yang baik dan amanah.
Politisi yang masih menggunakan metode pemasaran politik yang menempatkan dirinya sebagai pembeli dan rakyat sebagai penjual, hampir bisa dipastikan akan keluar sebagai pecundang dalam Pemilu 2014. Ini penting dipahami politisi sekarang bahwa karakter pemilih 2014 sangat berbeda dengan pemilih 2009, karena rakyat telah mengalami pencerdasan politik secara alami.
Kalau pada Pemilu 2009, para politisi masih bisa membodohi rakyat dengan menukar suara rakyat dengan sekantong plastik sembako berisi segardus indomie, gula pasir, dan beras. Pada Pemilu 2014, pemilih yang akan membodohi politisi dengan menghukum money politics, tidak menerima atau menerima sembakonya tapi tidak memilih politisinya.
Kalau politisi yang akan bertarung pada Pemilu 2014 masih tetap menggunakan metode pemasaran politik seperti Pemilu 2009, maka diprediksi rumah sakit jiwa di seluruh Indonesia akan kewalahan menerima pasien para caleg yang gagal setelah menghambur-hamburkan hartanya.
Fakta lapangan menunjukkan Pemilu 2009 telah berhasil memproduksi sebanyak 180.000 orang caleg yang mengalami gangguan jiwa lazim, 4.800 orang caleg mengalami gangguan jiwa berat. Dr Abdul Farid Patuti, Humas Rumah Sakit Jiwa di Bogor mengatakan, pasca-Pemilu 2009 terjadi peningkatan pasien rumah sakit jiwa sekitar 600 persen. Penyebab utamanya karena ketidaktahuan membelanjakan uangnya dalam pasar demokrasi yang semua transaksinya tidak menggunakan alat bukti.
Untuk menghindari caleg-caleg stres dan gila pasca-Pemilu 2014, harus segera meninggalkan metode pemasaran politik yang mengandalkan money politics dalam membodohi rakyat, dan segera dari sekarang melakukan investasi politik selama setahun ke depan. Metode pemasaran politik bertolak belakang dengan metode investasi politik. Kalau pemasaran politik hanya menjual kemasan untuk pencitraan, maka investasi politik menjual isi. Kalau konsultan pemasaran politik mencari aktor politik, maka konsultan investasi politik mencari aktor sosial.
Kalau ingin menjadi pemenang dalam Pemilu 2014, maka sekarang jangan menjadi aktor politik, tetapi segera menjadi aktor sosial. Kalau hanya menjadi aktor politik menuju Pemilu 2014, bersiaplah menjadi pecundang, syukur kalau tidak menjadi penghuni rumah sakit jiwa. Pasar demokrasi 2014 mencari aktor sosial untuk mengurus negara, karena terbukti aktor politik selama ini tidak mengurus Negara, tetapi menggadaikan bahkan menjual negara ke kapitalis. Kenapa pasar demokrasi memilih aktor sosial, karena aktor sosial adalah orang yang secara ikhlas dan konsisten terlibat mendesain kegiatan-kegiatan sosial kemasyarakatan.
Joko Widodo terpilih menjadi Gubernur DKI yang kemudian diapresiasi positif secara nasional karena menggunakan metode investasi politik, yaitu jauh sebelumnya ikhlas dan konsisten menjadi aktor sosial untuk melayani rakyat. Suatu fakta tidak terbantahkan seorang aktor sosial memukul KO incumbent Fauzi Bowo yang hanya mencul sebagai aktor politik dengan metode pemasaran politik yang salah.
(Oleh : Ruslan Ismail Mage-Direktur Eksekutif Sipil Institut & Analisisi Politik Univ)
No comments:
Post a Comment